Wednesday, September 23, 2009

Beberapa Cerita - Hanya di Indonesia (Bagian II)

Cerita kedua datang dari pertigaan tol porong. Di depan jalan masuk tol porong persis. Waktu itu aku sedang menuju ke Surabaya bersama temanku naik sepeda motor. Karena kupikir aku dibonceng, jadi aku cuma memakai helm non-standar, alias orang Malang bilang helm Cibuk (Gayung). Karena di Malang Helm non-standar seperti ini masih diperbolehkan bagi orang yang dibonceng. Tapi aku tak tahu kalau di Sidoarjo dan Surabaya, helm seperti ini tak diperbolehkan.

Dan akhirnya, tepat di depan jalan masuk tol porong, aku dihentikan oleh seorang anggota polisi. Katanya, "Mas, kena tilang, karena helm-nya bukan helm standar. Mana STN dan SIM." Kemudian temanku memberikan SIM dan STN miliknya. Polisi itupun berkata "Okay, ikut saya ke dalam." Saya masuk kedalam sebuah tenda yang gak terlalu besar berwarna biru tua. Didalam sana saya langsung ditanya "Mas, kena tiga puluh lima ribu." terus polisi satunya bertanya "Disini atau pengadilan." Temanku menjawab, "Disini saja pak." Karena Temanku pikir, kalau motor ini disita, gimana kami bisa nyampe ke Kantor di Surabaya. Sedangkan waktu itu sudah jam 8, padahal kami sudah harus berada di kantor pukul 9. Kan gak mungkin kalau kami harus nunggu surat tilang dulu.


Jadi akhirnya kami milih damai, tapi kemudian sedikit nyeletuk "Waduh pak, jangan 35. Gak punya uang nih, sepuluh aja ya." Polisinya jawab "Wah le, dhuwit opo sepuluh iku... (Waduh nak, uang apa sepuluh ribu itu?)" Kemudian aku nawar lagi "Yo wis pak, dua puluh yo... (Ya udah pak, dua puluh yah)" Lalu kata polisi satunya lagi "Ya udah lah duapuluh, Kesuwen (Kelamaan)." Lalu temanku memberikan uang lima puluh ribu dan diberi kembalian tiga puluh ribu. Hahaha... Aneh yah... peraturan kok bisa ditawar.

Aku jadi inget, aku pernah tanya sama seorang polisi yang yah bisa dibilang sudah punya kedudukan di polda Jawa Timur, cuma aku lupa jabatannya apa. Istrinya kebetulan langganan ibuku. Aku yang saat itu masih kelas satu SMK pernah menanyakan sebuah pertanyaan "Pak, kenapa sih polisi itu mau nerima uang 'DAMAI' saat nilang orang." Lalu orang itu tersenyum, dan berhenti sebentar. Kemudian menjawab "Begini, kalau masalah itu sebenere keduanya sama salahnya, tapi yang lebih salah, malah yang ngasih duit, alias yang kena tilang. Kenapa dia yang seharusnya kena tilang kok malah minta damai dan ngasih uang. Nah karena polisi juga manusia biasa yang butuh uang, jadinya yah diterima aja." Kemudian aku dan orang itu tertawa bersama. Di hati kecilku aku berpikir, bisa aja polisi ini jawab. Padahal seharusnya sebelum masuk menjadi anggota Kepolisian Indonesia, mereka sudah disumpah untuk selalu mengabdi pada bangsa Indonesia. Tapi apa sumpah ini cuma bo'ongan. Hoho... Aku tak tahu.

Tapi bukan maksudku untuk njelek-njelekin Kepolisian Indonesia secara keseluruhan. Aku tahu yang ngelakuin kayak gitu gak semuanya. Cuma beberapa oknum. Toh kalo mereka ketahuan atasan, juga pasti ditegur. Tapi aku cuma heran aja, padahal dulu pernah aku dapet cerita dari seseorang yang pernah ikut tur ke Jepang. Saat itu dia naik bus keliling kota Tokyo. Nah karena kebiasaan orang Indonesia jam karet, jadi mereka keluar dari hotel sedikit terlambat. Dan karena kebudayaan kita yang Jam karet berbeda dengan kebudayaan Jepang yang selalu tepat waktu, maka temanku ini kaget karena saat masuk bis, para rombongan dari Indonesia itu dikenai denda karena keterlambatan mereka dalam perjalanan. Tour Guide Jepang yang memimpin rombongan menjelaskan, itulah peraturannya. Jika terlambat, maka akan dikenai denda atas keterlambatan itu. Temanku hanya tertawa kecil, sambil menyerahkan uang denda. Dia hanya berpikir, pantas negara kita gak maju-maju, jangankan rakyat kecil, bahkan pejabat pemerintahan kelas atas pun gak pernah lepas dari pelanggaran peraturan. Bayangkan aja aturan sekecil itu bahkan diperhatikan di Jepang. Yah itulah, seperti kata peribahasa Lain Ladang Lain Belalang, Lain Lubuk Lain Ikannya. Hehehe...

399 comments:
Write comments



Tentang Penulis

.:: Just Be My Self ::.




Your Ad Here